Integrasi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai

Masalah lingkungan hidup masih terus terjadi di Indonesia. Headline koran nasional beberapa waktu lalu mengangkat masalah tercemarnya Kali Malang, yang merupakan sumber air baku bagi beberapa daerah termasuk DKI Jakarta. Limbah dari pabrik diprediksikan menjadi sumber utama polusi, selain limbah domestik. Kandungan beberapa zat pencemar seperti e coli, sudah melampaui ambang batas aman. Hal ini akan mempengaruhi kualitas air baku masyarakat.

Di lain tempat, beberapa waktu lalu terjadi bencana banjir di sejumlah kabupaten di Sulawesi Selatan. Bencana menyebabkan 69 jiwa meninggal dunia serta puluhan ribu orang harus mengungsi. Pembalakan liar untuk pembukaan ladang dan penambangan di bagian hulu dianggap menjadi biang keladi terjadinya musibah.

Terdapat benang merah dalam dua contoh kasus di atas, yaitu ada kerusakan fungsi sungai. Kerusakan sungai menjadi pertanda bahwa kondisi Daerah Aliran Sungai (DAS) juga bermasalah. Pembangunan yang tidak sesuai dengan lingkungan menjadi penyebab utama dari kerusakan DAS. Sayangnya, selama ini penyelesaian masalah masih bersifat parsial tanpa adanya integrasi antar pihak.

Tidak Sinkron

Penyelesaian masalah tidak bisa dilakukan parsial karena DAS merupakan sebuah sistem. Secara umum DAS dibagi menjadi tiga bagian yang memiliki fungsi masing-masing yaitu hulu, tengah, dan hilir. Bagian hulu berfungsi sebagai kawasan resapan air sehingga diarahkan untuk kawasan lindung. Fungsi bagian tengah adalah distribusi, sedangkan hilir sebagai zona pemanfaatan. Setiap bagian saling berkaitan sehingga apabila ada kerusakan, maka seluruh sistem akan terganggu.

Permasalahan muncul saat DAS mencakup lebih dari satu daerah administrasi. Setiap daerah mempunyai kepentingannya masing-masing. Apalagi dengan penerapan otonomi, daerah diberikan kewenangan lebih luas untuk mengatur pembangunan di wilayahnya. Sistem otonomi menuntut daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara mandiri, termasuk mencari sumber dana pembangunan. Hal ini menyebabkan daerah berlomba-lomba memaksimalkan potensi ekonomi yang ada.

Alhasil orientasi pembangunan hanya untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) tanpa mengindahkan dampak ke depannya. Kondisi tersebut memicu banyak pembangunan dilaksanakan tidak sesuai dengan kondisi lingkungannya. Banyak daerah hulu justru dibangun untuk perumahan, villa, tempat wisata, atau perkebunan. Hal tersebut menyebabkan penurunan luasan kawasan hutan yang mempunyai fungsi penting.

Keberadaan hutan menjadi recharge area yang akan menjaga keseimbangan hidrologis suatu DAS. Luas hutan yang semakin berkurang akan menimbulkan berbagai masalah, salah satunya sedimentasi. Tingginya tingkat sedimentasi menyebabkan volume sungai berkurang. Hal tersebut memicu banjir, karena sungai sudah tidak bisa menampung ada peningkatan debit air. Dampak negatif dari banjir tidak hanya dirasakan oleh daerah itu sendiri, tetapi daerah lain juga.

Selain itu, keseriusan pengawasan pencemaran lingkungan antardaerah masih berbeda. Ada yang tegas terhadap pelanggaran, ada yang longgar bahkan terkesan tutup mata. Pengawasan yang longgar bisa menyebabkan terjadinya pelanggaran, seperti pengolahan limbah yang tidak sesuai standar dan pembuangan limbah sembarangan.

Padahal limbah cair atau padat berupa sampah bisa berpindah sesuai dengan aliran sungai. Satu sumber pencemaran saja sudah bisa menyebabkan tercemarnya seluruh aliran sungai di lain daerah. Hal tersebut sangat merugikan daerah lain yang terkena getahnya akibat ketidakseriusan penanganan lingkungan.

Kondisi ini harus menjadi perhatian karena bisa menimbulkan konflik kepentingan antardaerah. Perlu diingat bahwa DAS mempunyai peran penting sebagai pemenuhan kebutuhan air manusia serta menjaga kondisi lingkungan. Apabila kondisi DAS rusak, maka bisa mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
 
Perlu Integrasi

Perlu adanya integrasi antardaerah dalam pengelolaan DAS. Suatu kemustahilan untuk menangani permasalahan terkait DAS tanpa berkoordinasi dan melibatkan daerah lain. Masing-masing daerah perlu paham posisi dan fungsi daerahnya dalam suatu DAS. Jangan sampai pembangunan dilakukan justru bertentangan dengan fungsi yang seharusnya.

Tujuan integrasi untuk menyeleraskan berbagai aspek pembangunan yang berdampak langsung terhadap sungai. Hal ini untuk menghindari kebijakan yang saling merugikan atau tumpang tindih antardaerah. Sinkronisasi tidak hanya berhenti pada tahap perencanaan di atas kertas, tetapi juga saat implementasi dan pengawasan. Pada tahap implementasi inilah banyak potensi pelanggaran terjadi sehingga memerlukan pengawasan ketat.

Selama ini sebenarnya antardaerah banyak yang sudah membentuk sekretariat bersama, tetapi hanya fokus kepada aspek ekonomi atau infrastruktur. Kalaupun ada yang fokus pada sungai masih berupa organisasi informal komunitas masyarakat atau LSM seperti FORSIDAS. Hal tersebut kurang maksimal karena tidak mempunyai payung hukum yang kuat serta bersifat sukarela. Badan atau balai yang mengelola DAS dari sejumlah kementerian/lembaga pun juga memiliki keterbatasan kewenangan.

Perlu ada perubahan secara terstruktur dan terintegrasi dalam mengatasi permasalahan ini. Kalau masing-masing pihak masih berjalan sendiri-sendiri, maka dampaknya tidak optimal. Salah satu negara yang sudah mempraktikkan kerja sama antardaerah dalam pelestarian DAS adalah Jepang. Daerah hulu akan mendapatkan subsidi silang berupa sejumlah dana tertentu dari daerah hilir sebagai imbal jasa menjaga hutan. Sebagai timbal balik, daerah hilir akan mendapat jaminan ketersediaan suplai air dari hulu. Implementasi tersebut bisa dicontoh berbagai daerah di Indonesia agar ada keselarasan pembangunan.

Pemerintah pusat atau provinsi perlu melakukan inisiasi MoU kerja sama untuk pengelolaan DAS. Kerja sama ini ditujukan kepada stakeholder kabupaten/kota yang berlokasi dalam satu DAS. Harapannya tercapai kesepakatan antardaerah terkait sektor-sektor yang berpengaruh pada kondisi DAS, tentu sesuai dengan kewenangan. Butir kesepakatan diharapkan akan diimplementasikan oleh masing-masing kepala daerah dalam program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).

Lebih bagus lagi dikuatkan dalam peraturan daerah atau peraturan bupati/walikota. Alhasil terdapat koordinasi di level teknis seperti sinkronisasi rencana pembangunan, kerja sama pengawasan sungai lintas daerah, atau sharing pendanaan pelestarian hutan di kawasan hulu. Durasi MoU lebih baik dalam jangka panjang agar tidak berhenti apabila ada pergantian kepala daerah.

Komitmen Bersama

Permasalahan kerusakan DAS sudah tidak bisa dipandang sebelah mata. Menteri KLHK Siti Nurbaya pernah menyatakan bahwa 2.145 DAS di Indonesia harus dipulihkan. Perlu langkah strategis dan nyata dari berbagai pihak baik di pusat maupun daerah untuk mengurai permasalahan ini. Berbagai dampak negatif sudah menunggu apabila kondisi ini tetap dibiarkan. Dampak jangka pendek kerusakan DAS adalah bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, atau kekeringan. Sedangkan dalam jangka panjang bisa menimbulkan konflik sosial akibat masalah ketersediaan sumberdaya.

Setiap daerah perlu menurunkan ego kepentingan pembangunannya masing-masing demi terwujudnya kemaslahatan bersama. Daerah harus menyadari bahwa semua saling membutuhkan satu sama lain. Mustahil ada daerah yang bisa berjalan sendiri tanpa bantuan daerah lain. Jangan sampai demi keuntungan sesaat kemudian mengorbankan pihak lain.

Kelestarian lingkungan akan memberikan keuntungan bagi semua pihak. Harapannya fungsi dan manfaat DAS dapat dipulihkan, sehingga mampu mendukung kebutuhan sumberdaya generasi kini maupun yang akan datang.
 

*Penulis : Gilang Adinugroho alumni Magister Geografi Universitas Gadjah Mada, konsultan Lingkungan Hidup dan Perencanaan Pembangunan Wilayah

(sumber;detik.com/internet)