KPBU SPAM Sebagai Satu Keniscayaan

Di dalam konteks penyelenggaraan air minum, Indonesia menghadapi tantangan yang meskipun tidak baru tetapi tetap sangat mencengangkan. Setting dari apa-apa yang dihadapi sekarang, berdasarkan aturan yang baru karena judicial review terhadap UU No. 7 Tahun 2004 tentang SDA, tidak bisa dilakukan lagi persis seperti yang dilakukan semula karena Mahkamah Konstitusi (MK) memang memberi pesan yang kuat bahwa air itu dikuasai oleh negara, kemudian pengelolaannya oleh BUMN dan BUMD.

Demikian disampaikan Asisten Deputi Infrastruktur Sumber Daya Air Kementerian Koordintor Bidang Perekonomian Mohammad Zainal Fatah dalam Indonesia Water Forum 2018, di Batam, Kepulauan Riau, pertengahan Juli 2018 lalu. Ia menegaskan pesan yang kuat dari putusan tersebut. Namun pertanyaannya, apakah negara mampu menyediakan sendiri tanggung jawab yang memang harus dilaksanakan untuk melayani rakyat dalam rangka penyediaan air minum?

“Kita semua sadar, dengan konstruksi RPJMN kita untuk bidang infrastruktur, pemerintah tidak mungkin bisa membiayai seluruh pembangunan infrastrukturnya. Bahkan, APBN sendiri hanya menjadi bagian kecil pembiayaan. Ada komponen APBD, ada komponen yang lainnya. Tetapi yang signifikan yang kita harapkan adalah pembiayaan dari pihak swasta atau badan usaha,” ujar Fatah.

Oleh karena itu, lanjutnya, tantangan di bidang air minum ini bahwa faktanya kita memerlukan kerja sama antara pemerintah dan badan usaha atau istilah umumnya Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Tetapi di dalam satu lingkungan dimana peraturan perundang-undangan kita memberi koridor yang sangat jelas. Maka itu, ke depan bentuk kerja sama pemerintah dan swasta itu tidak kapada bagian hilir, sebab di hilir sudah jelas-jelas nyata dengan tidak adanya UU No. 7 Tahun 2004 dan kita kembali kepada UU No. 11 Tahun 1974, maka kita “menyelamatkan” hal-hal yang sudah kita lakukan dengan menerbitkan PP No. 121 dan 122. Inilah yang menjadi pegangan kita sekarang di dalam menyelenggarakan SPAM.

Sekali lagi, lanjut Fatah, apakah di dalam konstruksi peraturan perundang-undangan kita tidak boleh bekerja sama? Di situ disebutkan dengan sangat clear, itu boleh dilakukan. Bahkan Presiden Joko WIdodo di dalam berbagai kesempatan menyatakan bahwa penyelenggaraan pembangunan infrastruktur “secara umum”, infrastruktur-infrastruktur prioritas itu ditawarkan dulu kepada swasta. Kalau swasta tidak bisa, baru masuk ke pihak-pihak berikutnya sampai kepada pemerintah. Itu kaidah yang diarahkan, dan batasan-batasan itulah yang perlu dicermati.

Jadi, BUMN, dan dalam hal ini juga BUMD, diberi tugas sebagai penyelenggara yang diprioritaskan. Adapun badan usaha swasta tetap diminta, dilibatkan, agar bersama-sama menyelenggarakan SPAM dengan prinsip-prinsip tertentu, tetapi dengan syarat bahwa BUMN-BUMD tadi tidak mampu dalam hal pembiayaan. Hal ini eksplisit di dalam putusun MK. Karena itu, kita lihat sisi positifnya bahwa aturan ini tidak melarang melainkan memberi koridor baru yang faktanya memang tidak mungkin ditinggalkan.

Lantas bagaimana ke depannya? Prinsip-prinsip seperti apa yang diamanatkan oleh peraturan perundang-undangan? Di dalam konteks SPAM, PP 122/2015 menegaskan, yang bertindak sebagai PJPK adalah menteri, kepala lembaga, atau kepala daerah. Inilah perubahan yang mendasar. SPAM Umbulan barangkali menjadi SPAM terakhir yang menggunakan peraturan sebelum PP 122, sehingga PJPK-nya adalah pemerintah provinsi. Tetapi setelah PP 122 PJPK-nya adalah badan usahanya, atau BUMD-nya, atau dalam hal ini PDAM-nya. Jadi yang membedakan adalah sekarang yang menjadi PJPK-nya adalah PDAM-nya atas dasar penugasan oleh kepala daerah.

Kemudian apa dan pada bagian mana yang bisa dilakukan? Di lingkup kerja sama dalam skema PP 122 ini badan usaha swasta tidak melakukan aktivitas di hilir. Di bagian pertama, yaitu unit air baku dan unit produksi bisa dilakukan dengan dikerjasamakan. Sementara di unit distribusi investasinya boleh di situ tetapi dioperasikan dan dikelola oleh BUMN atau BUMD. Demikian juga di unit pelayanan, investasinya lebih kepada investasi teknologi dan operasionalisasinya oleh BUMN atau BUMD. Inilah aturan-aturan yang kita miliki.

Pertanyaannya adalah, apakah dengan bekerja sama dengan swasta pemerintah bisa dianggap melepas tanggung jawab? Tidak juga. Sebagai gambaran, umumnya proyek-proyek infrastruktur memang layak secara ekonomi tetapi secara finansial tidak. Yang layak dua-duanya tidak banyak. Oleh karena itu, kalau kondisi itu dibiarkan saja maka tidak mungkin ini bisa dijalankan. Untuk itu, pemerintah memberikan dukungan-dukungan yang intinya untuk memastikan bahwa penerima manfaat khususnya dalam bidang penyediaan air minum tidak dikorbankan.

“Sebagai contoh, Permendagri 70-71 memastikan bahwa kalau memang pemerintah daerah meyakini bahwa harga air yang dihitung tidak mungkin dibayar oleh rakyat atau penerima manfaat maka pemda memberikan subsidi. Itu sebagai bentuk kepedulian pemerintah,” jelas Fatah.

Di bagian hulu, lanjutnya, kalau kerja sama pemerintah dengan swasta tidak layak secara finansial maka pemerintah memberikan dukungan. Apakah sebagian dari infrastruktur itu disediakan melalui APBN atau bisa juga melalui CGF. Jadi berapa yang layak kemudian pemerintah membayar sebagian dari biaya investasi itu agar harganya betul-betul bisa diterima oleh penerima manfaat.

Karena itu, dengan KPBU ini disamping kita tetap menjamin layanan tetap terpenuhi, pemerintah juga ruang fiskalnya menjadi lebih fleksibel atau lebih bebas. Kalau dulu punya uang satu juta mungkin hanya bisa bikin satu, sekarang bisa bikin dua atau tiga, dengan skenario pembagian risiko. Tetapi sekali lagi kerja sama ini tidak membuat masyarakat pengguna air minum terkorbankan. Karena dukungan-dukungan pemerintah, apakah itu dukungan finansial ataupun infrastruktur yang langsung maupun penjaminan juga disediakan oleh pemerintah.

“Dengan demikian, kami dari pihak pemerintah meyakini, inilah cara kita dalam memberikan layanan yang lebih baik ke depannya,” pungkas Fatah.

(sumber;webperpamsi/internet)